JE Sahetapy
Tentunya apa yang terjadi dalam kasus Antasari, Gayus dan Cirus ini membuktikan begitu amburadulnya penegakan hukum di Indonesia. Ini juga menunjukkan begitu perkasanya mafia hukum dan peradilan saat ini.
Pengamat dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia JE Sahetapy menyatakan, kasus ini membuktikan betapa kepolisian dan kejaksaan telah terkotaminasi begitu lama oleh mafia hukum.
Oleh karena itu, sebelum memberantas mafia hukum ini, menurut Sahetapy, oknum dan tikus-tikus jenderal di Polri dan Kejaksaan harus dibersihkan dahulu. "Saya selalu katakan, ikan yang busuk itu ada di kepalanya bukan di ekornya. Bau busuk tidak dirakyat, tetapi di kepala-kepala di atasnya itu. Jadi harus dipotong," katanya.
Sahetapy juga mengakui, amburadulnya penanganan kasus ini merupakan akibat dari ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam penegakan hukum. Ia pun membandingkan kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru. Walau Soeharto otoriter dan diktator, tapi memiliki arah tujuan yang jelas. Beda dengan Presiden SBY yang mengedepankan berpolitik santun dan pencitraan, tapi membuat rakyat bingung, karena tidak memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Berikut wawancara detikcom dengan JE Sahetapy yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) di kantornya Jl Diponegoro No 64, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2011).
Bagaimana bapak melihat perkembangan kasus Gayus Tambunan ini?
Kalau soal kasus Gayus Tambunan ini ada yang percaya dan ada yang tidak percaya. Kalau bagi saya, sebagai mantan pendidik, persoalannya bukan percaya atau tidak. Tetapi sebaiknya dibuka apa yang telah dikatakan Gayus ditelusuri dan diselidiki saja.
Kalau ternyata ada dasar hukumnya harus dijadikan bahan penyidikan, tapi jangan apriori langsung ditentang. Saya kok melihat ada masalah, ada yang mengatakan dia bohong atau penjahat besar, tapi kita harus obyektif mengkaji pernyataan dia.
Baik juga soal rekayasa kasus Antasari, seperti yang dikatakan Gayus. Karena saya membaca di media massa, soal peristiwa pembunuhan itu, khusus saat penembakan. Dari hasil dokter forensik memang diragukan, peluru tidak sama, tembakan tidak sama antara tembakan jarak dekat atau jarak jauh.
Begitu juga untuk kasus pajak yang menyebabkan Gayus disuap juga harus diungkap kembali. Saya kurang sepakat kalau kasus Gayus ini dikatakan sebagai kasus gratifikasi, tapi ini kasus penyuapan.
Saya kira, polisi dalam kasus ini juga telah terkontaminasi dengan mafia hukum, meskipun saya belum bisa membuktikannya. Bagi saya agak mengherankan, Gayus kok bisa pergi ke Bali, Macau, Singapura, kok polisi tidak tahu, itu bagaimana?
Menurut saya, apakah kita sudah begitu bodoh sampai tidak tahu lagi. Dan yang harus bertanggung jawab, bukan hanya yang bertugas di Rumah Tahanan Markas Brimob Mabes Polri di Kelapa Dua, Depok saja. Tetapi para pejabat Polri yang berada di tingkat dua sampai tiga mereka yang harus bertanggung jawab.
Sudah begitu parahkan mafia hukum bekerja sehingga keadilan sulit digapai?
Kalau soal mafia hukum ini sejak tahun 2000, saya mengatakan bahwa hukum di Indonesia ini sudah amburadul. Pada saat itu sudah ada mafia, cuma mainnya belum sampai sebesar ini. Ini kan baru begitu membahana ketika ribut soal Cicak dan Buaya. Saya bilang kok bisa Cicak dan Buaya. Kalau Cicak kan biasa hidup di rumah orang miskin sampai istana. Kalau Buaya itu kan makannya bangkai. Kalau polisi itu dikatakan buaya, ya silakan saja.
Tapi menurut saya, kalau kita mau memberantas betul-betul mafia hukum ini. Pertama-tama hasus dimulai dengan membersihkan oknum-oknum dan tikus-tikus berbintang di lingkungan Polri dan Kejaksaan. Kalau kita mau kembali ke negara hukum, saya aneh, kalau di dalam konstitusi tidak disebut, begitu juga setelah amandemen, kok Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Apakah Satgas Mafia Hukum ini bisa dibenarkan dari segi hukum, baik dari teori tata negara maupun teori-teori hukum yang lain, apa itu dibenarkan? Saya terus terang setelah mengikuti sepak terjang Profesor Denny Indrayana (Sekretaris Satgas Mafia Hukum) berpikir secara lugas apa tidak? Tapi yang paling merisaukan saya ini adalah Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Kuntoro Mangkusubroto) itu bukan seorang sarjana hukum, tapi cuma doktor dan insinyur biasa. Begitu juga dengan Denny Indrayana,yang hanya hukum tatanegara saja, bukan ahli hukum pidana. Mestinya dia (Denny) pola permainannya tidak begitu cantik.
Betulkah kalau kasus Gayus ini dibongkar akan menimbulkan instabilitas politik terganggu, mengingat banyak pejabat tinggi terlibat?
Saya kira tidak, saya berpendapat ini tidak mengganggu. Kalau kita ikuti perkembangan akhir-akhir ini, justru sebenarnya masyarakat ini sudah kesal dan sebal dengan keadaan ini. Politic is not about power and domination, but about truth, politik bukan tentang kekuatan dan kekuasaan, tapi tentang kebenaran.
Politik itu sebenarnya memiliki makna dan hakiki seperti itu. Tapi politik di Indonesia itu sudah sedemikian rupa direkayasa dan orang lupa dengan kebenaran. Celakanya, ketika orang berbicara tentang kebenaran, maka lawan kebenaran itu adalah kebohongan. Dan, ketika orang berbicara kebohongan, pemerintah lalu marah. Kalau pemerintah ini betul-betul memiliki komitmen terhadap kesejahteraan rakyat, maka sebetulnya pemerintah tidak boleh marah, tapi menanyakan apa saja yang belum terpenuhi.
Kembali ke masalah Gayus. Saya juga heran kepada Presiden sejak dulu. Kenapa tidak memanggil Kapolri yang lama saat dijabat Bambang Hendraso Danuri (BHD) dan yang baru (Timor Pradopo) untuk memberikan ultimatum, tidak hanya instruksi. Saya kira memberikan ultimatum, bukan sebagai bentuk intervensi presiden dalam persoalan hukum. Karena Polri dan Kejaksaa Agung itu berada di bawah Presiden.
Saya sudah mulai curiga, ketika masalah penangkapan dua anggota KPK oleh Polri, lalu dikeluarkan P-21. Tiba-tiba lalu dijadikan SP3, lalu deponeering, tapi di Belanda sekarang ini justru seponeering. Rupanya Kejaksaan itu tidak mengikuti perkembangan hukum di sana.
Lalu kenapa Presiden seperti membiarkan polisi dan jaksa kerja seenaknya?
Itu menurut hemat saya, Presiden itu memang begitu sangat pintarnya, kalau kata orang Jawa,saking keminternya. Makanya saking pinternya, orangnya terlalu banyak memikirkan. Orang kalau terlalu banyak memikir akan sulit mengambil keputusan. Kalau Saya ini bekas pendidik, jadi melihatnya seperti itu.
Kalau anda melihat seorang wanita ini, bimbang. Lalu lihat wanita lainnya bimbang, lihat yang lainnya bimbang lagi, akhirnya mendapatkan wanita yang jelek. Mestinya jangan terlalu banyak pertimbangan dan ragu-ragu, apalagi bagi seorang jenderal.
Saya membaca cerita Jenderal Eisenhower itu, hanya diberikan briefing, kondisi cuaca, musuh dan lain-lain, lalu ambil keputusan. Tidak ada lagi perhitungan sekian mati, sekian berhasil. Tetapi kalau timbang sana, timbang sini, apalagi kalau orangnya punya hidung pinokio wah lebih repot lagi.
Ketidaktegasan Presiden ini membuktikan keterlibatan Istana dan pejabat tinggi dalam kasus ini?
Saya kurang tahu soal itu, bukannya saya takut menjawab. Yang saya tahu, ada keterlibatan secara langsung dan tidak langsung, yang saya ikuti dari sejumlah media massa, justru dalam kasus Bank Century. Tetapi itu harus dibuktikan lebih lanjut lagi. Menurut hemat saya, kalau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turun dan memeriksa semua pembukuan, termasuk di Bank Indonesia, saya kira itu akan ketahuan dan terbuka.
Karena setiap keluar masuk uang BI itu kan tentunya dicatat dalam pembukuan di BI. Malah rekening uang dan nomor uang keluar masuk itu dicatat. Saya merasa para anggota dewan terhormat, wakil-wakil rakyat ini terlalu banyak ngomong. Mungkin karena hidup di gedung yang miring, maka pikirannya juga miring.
Presiden yang tak bisa memberikan tekanan kepada polisi dan jaksa ini, apakah bisa dikatakan Istana terlibat dalam kasus-kasus ini, seperti untuk menyingkirkan Antasari Azhar?
Kalau gosip di luar begitu, tapi saya tidak bisa bilang gosip itu benar. Kalau gosip di kalangan akar rumput seperti itu, terutama setelah Gayus secara tegas mengambil sikap bertalian dengan Presiden. Bahkan ada gosip di luar, yang hal-hal saya tidak berani berbicara dan mengomentarinya di sini. Ada yang mengatakan sampai sedemkian rupa.
Saya tanya apa betul ke teman? Iya pak betul. Apa anda dekat dengan Presiden? Oh tidak Pak, tapi ini sudah menjadi cerita. Nah itu yang saya khawatirkan, cerita dari mulut ke mulut itu biasanya berbunga. Kalau orang meminjam uang, tidak suka membayar rente (bunga). Tapi pinjam omongan, malah suka tambah rente (bunga), itu repotnya di situ. Jadi saya tidak bisa kasih komentar soal itu, bukan takut, tapi saya belum yakin tentang kebenaran cerita-cerita itu.
Lalu solusinya agar kasus-kasus ini diselesaikan tuntas?
Menurut hemat saya, semua itu tergantung dari Presiden sendiri. Kalau bapak Presiden tidak membuat masalah ini clear atau jelas, saya kira akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kita bersama. Presiden harus ingat, dia mengabdi bukan supaya dia selamat, tapi agar rakyat jadi sejahtera dan selamat. Presiden itu jadi presiden itu untuk jadi siapa? Supaya rakyat sejahtera dan selamat. Kalau mas tanya, berapa honorarium saya? Saya tidak akan jawab, karena hal-hal seperti itu masih tabu dan tak etis.
Saya tidak tahu apakah presiden itu keperucut atau ada maksud tertentu. Hey tentara, kamu saya naikan, walau saya tidak. Saya kira, bagi orang bijak tidak akan ngomong seperti itu. Orang boleh pintar, tapi belum tentu bijak.
Hanya orang yang pintar dan bijak baru bisa melakukan hal-hal yang bisa diterima masyarakat. Tapi sekadar pintar dan punya gelar macam-macam, tapi tidak bijak buat apa.
Kebijakan itu sangat penting, tak hanya dalam kehidupan masyarakat, tapi politik juga. Nah, setelah Gayus ngomong itu, munculah macam-macam di DPR. Mungkin Presiden lalu khawatir tentang kompromi selama ini dengan partai politik lainnya, seperti Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dan lain-lainnya.
Setelah divonis Gayus bernyanyi soal Jaksa Cirus Sinaga, ini bagaimana?
Kalau soal Cirus Sinaga, terus terang saja, saya tidak begitu respect sama dia. Karena saat dia jadi jaksa menangani Antasari Azhar, semua omongannya, tuduhannya dan tuntutannya sama sekali tidak mencerminkan seorang yang beradab. Dia gali lubang untuk orang lain seenaknya, sekarang dia terperosok sendiri ke dalamnya.
Saya terus terang dan berpikir bahwa Kejaksaan itu sebetulnya sudah lama terjadi pembusukan di sana. Tidak hanya di Kepolisian tapi juga Kejaksaan. Apalagi di pengadilan. Saya selalu katakan, ikan yang busuk itu ada di kepalanya bukan di ekornya. Bau busuk tidak di rakyat, tetapi di kepala-kepala di atasnya itu. Sehingga Adnan Buyung Nasution dulu saat zaman Presiden Soeharto bilang ke saya, jadi Sahetapy, kepalanya yang dipotong? Anda yang katakan bukan saya sambil tertawa.
Begini waktu zaman Pak Harto, meskipun pemerintahannya diktator, tapi kita tahu arahnya. Tapi sekarang ini dengan politik yang katanya penuh kesantunan dan pencitraan, kita malah bingung, mau dibawa ke mana kita ini. Jadi yang kita minta dari Presiden sekarang ini, kalau bisa tegas, baik terhadap kepolisian maupun kejaksaan. Dia harus back up juga KPK jangan ragu-ragu.
Saya gatal juga ketika dia bilang, saya tidak mau intervensi. Ya kalau tidak mau intervensi, polisi dan jaksa jangan di bawah beliau saja. KPK kan dibentuk UU, sehingga Presiden tak bisa intervensi, kalau satgas yang dibentuk Instruksi Presiden (Inpres) sebenarnya tidak jelas dan tidak ada di dunia mana pun satgas-satgas seperti itu. Menurut hemat saya, sesuai UU, Kejaksaan dan Polisi bisa langsung diintruksikan dan ditugaskan oleh Presiden, ayo kerjakan ini, lakukan itu, tugaskan. Kalau lepaskan ini, tahan itu, ya itu nggak boleh, itu namanya intervensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar