Minggu, 6 Februari 2011 12:20 WIB
Sekjen DPR Nining Indra Saleh
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Sekretariat Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Nining Indra Saleh ke Komisi Informasi Pusat (KIP) karena dinilai telah melanggar Undang-undang no 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. ICW menilai Nining tidak memberikan respons atas surat permintaan informasi ICW kepada Sekretariat Jenderal DPR.
"Permintaan kita sesuai Pasal 4 Ayat (1), (2) dan (3) UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), di mana informasi dan laporan hasil pelaksanaan studi banding tersebut merupakan informasi publik. Namun, faktanya Setjen DPR tertutup untuk itu," kata anggota ICW Abdullah Dahlan kepada wartawan di Jakarta, Minggu (6/2).
Ia mengatakan, ICW menuntut agar KIP segera menyikapi permohonan keberatan yang diajukan untuk membuka ketertutupan informasi tersebut. Lebih lanjut Abdullah memaparkan, ICW sebelumnya telah mengajukan permintaan informasi laporan hasil studi banding alat kelengkapan DPR dengan surat tertanggal 23 November 2010, dan telah diterima oleh pihak Humas DPR pada tanggal 25 November 2010.
Kemudian, ICW mengajukan surat keberatan internal kepada Setjen DPR dengan surat tertanggal 29 Desember 2010, dan diterima oleh pihak Sekjen DPR pada 30 Desember 2010. "Kita telah menerima surat balasan dari Sekjen DPR terkait surat keberatan atas informasi pada tanggal 25 Januari 2010, namun tidak disertai data yang diminta ICW. Jadi, wajar kalau ICW menilai, Sekjen DPR Nining yang seharusnya terbuka kepada publik, nyatanya tidak mendukung upaya keterbukaan informasi publik," kata Dahlan.
Lebih lanjut Dahlan menegaskan, sebagai lembaga publik, DPR telah mengesampingkan prinsip akuntabilitas dalam penggunaan uang negara.
Audit Anggaran Pemberitaan DPR
Di tempat terpisah, Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mendukung langkah ICW untuk melaporkan ketertutupan Setjen DPR ke KIP. Pihaknya tambah Sebastian, juga mengaku sangat sulit sekali mencari atau mendapatkan data soal kegiatan dan laporan kinerja anggota dewan di Setjen DPR, padahal menurut UU KIP, semua lembaga pemerintah harus membuka semua data menyangkut kepentingan publik.
Bahkan, Sebastian meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit juga anggaran pemberitaan DPR yang dikabarkan mencapai Rp21 miliar. "Sampai hari ini, kami tidak bisa mendapatkan data dari Setjen DPR. Para wartawan pun mengaku mengalami hal yang sama. Bahkan, anggaran pemberitaan DPR yang mencapai miliaran rupiah tidak jelas juntrungannya," katanya.
Ia berharap, KPK dan BPK turun tangan untuk mengaudit semua anggaran DPR. Ketertutupan Setjen DPR ini juga dirasakan sejumlah wartawan yang meliput di DPR yang kesulitan mendapatkan data, baik itu rancangan undang-undang (RUU) atau daftar isian penyelenggaraan anggaran (DIPA) untuk DPR. "Padahal dengan dibukanya data DIPA, kita bisa mengukur kinerja DPR dan potensi korupsi yang mereka lakukan," katanya. (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar